Rabu, 28 Desember 2022

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PRESPEKTIF ISLAM



 By: Zhifanious

KATA PENGANTAR

 

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Alhamdulillahirobbil ’alamin. Tiada kata-kata yang dapat saya ucapkan selain rasa syukur yang tak terkira atas nikmat serta karunia yang telah Allah SWT limpahkan kepada saya ,beserta shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad SAW, yang telah membimbing kita hingga akhir zaman kelak. Sehingga saya dapat diberi kemudahan dalam menyelesaikan makalah dengan judul “Perlindungan Konsumen Dalam Prespektif Islam” dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Al-Ustadzah Rakhma Dewi Jamilatul K., SE, selaku dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Mikro Islam.

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diinginkan yaitu: Wanita-wanita, anak-anak harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi allah SWT tempat Kembali yang baik (surga). (Q.S An-nissa: 14). Dalam konteks bisnis, antara pelaku usaha dan konsumen dilarang untuk saling menzalimi atau merugikan satu dengan yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan hak-hak konsumen dan juga hak-hak pelaku usaha (produsen). Konsep bisnis dalam Islam harus dilandasi oleh nilai-nilai dan etika yang menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan nilai guna dan dapat menjadi bahan diskusi dalam pengembangan hukum islam. sebelumnya saya ucapkan mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan, saya mohon kritik dan saran pembaca demi perbaikan makalah ini.

 Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 Mantingan, 14 juli 2022

                                                                                                           

    Penulis

 

          DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI. ii

BAB I. 1

PENDAHULUAN.. 1

A.         Latar Belakang. 1

B.         Rumusan Masalah. 2

C.         Tujuan Masalah. 2

BAB II. 3

PEMBAHASAN.. 3

A.         Landasan Hukum Perlindungan Konsumen. 3

B.         Hak dan Kewajiban Konsumen. 4

C.         Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen. 8

D.         Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Dalam Hukum Islam dan UUPK   9

BAB III. 12

PENUTUP. 12

A.         Kesimpulan. 12

DAFTAR PUSTAKA.. 13

 

 

 

                                                                          


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Secara historis, sejarah perlindungan konsumen dalam Islam sudah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW belum diangkat menjadi Rasul, beliau membawa barang dagangan Khadijah binti Khuwailid dengan mendapatkan imbalan atau upah.[1] Sekalipun tidak banyak literatur yang berbicara tentang aspek perlindungan konsumen ketika itu, namun prinsip-prinsip perlindungan konsumen dapat ditemukan dari praktik-praktek bisnis yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kejujuran, keadilan dan integritas Rasulullah tidak diragukan lagi oleh penduduk Mekkah, sehingga potensi tersebut meningkatkan reputasi dan kemampuannya dalam berbisnis.[2]

Dalam konteks bisnis, potongan pada akhir ayat tersebut mengandung perintah perlindungan konsumen, bahwa antara pelaku usaha dan konsumen dilarang untuk saling menzalimi atau merugikan satu dengan yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan hak-hak konsumen dan juga hak-hak pelaku usaha (produsen). Konsep bisnis dalam Islam harus dilandasi oleh nilai-nilai dan etika yang menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan.

Dari praktik-praktik bisnis yang dilarang tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa prinsip bisnis yang diajarkan oleh Rasulullah SAW mengandung nilai-nilai perlindungan terhadap hak-hak konsumen, sekalipun pada saat itu belum mengenal terminologi konsumen. Karena itu, kejujuran, keadilan dan transparansi merupakan pondasi ajaran Islam dalam berbisnis. Uraian di atas juga membuktikan, bahwa sebelum bangsa Barat dan dunia modern mengenal perlindungan konsumen, Islam telah mengimplementasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip perlindungan konsumen tersebut dalam tataran praktis.

B.    Rumusan Masalah

Dalam makalah ini yang menjadi pokok masalah adalah bagaimana proses perlindungan konsumen dalam prespektif islam. Dan ternyata masalah yang ada begitu banyak dan luas. Akan tetapi agar tidak terlalu menyebar dan dapat terarah serta tetap tersusun secara sistematis maka akan dibatasi sebagai berikut:

1.      Bagaimana landasan hukum perlindungan konsumen?

2.      Apa saja hak dan kewajiban konsumen?

3.      Bagaimana asas serta tujuan konsumen?

4.      Apa saja perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dlam hukum islam?

 

C.    Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuannya adalah sebagai berikut:

1.      Mengetahui landasan hukum perlindungan konsumen?

2.      Menetahui hak dan kewajiban konsumen?

3.      Mengetahui asas serta tujuan konsumen?

4.      Mengetahui perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dlam hukum islam?


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Landasan Hukum Perlindungan Konsumen

a)      Landasan Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Islam

Sumber hukum dalam Islam yang telah disepakati oleh para fuqaha ada 4, yaitu berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sumber-sumber hukum ini dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan hukum perlindungan konsumen dalam Islam. Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama (sumber primer) dalam ajaran Islam. Sunnah adalah sumber hukum kedua (sumber sekunder) setelah Al-quran, dan dapat dijadikan sumber hukum pertama (sumber primer) apabila tidak ditemukan penjelasan atas suatu masalah di dalam Al-Qur’an.

Adapun ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari kalangan umat Islam pada suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kejadian maupun kasus. Ijma’ hanya ditetapkan setelah wafatnya Rasulullah SAW dan hanya dapat dijadikan sebagai sumber hukum apabila tidak ditemukan penjelasan atau norma-norma hukum di dalam Al-Qur’an maupun sunnah mengenai suatu masalah atau kasus.[3] Sedangkan qiyas adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nash-nya kepada kejadian yang ada nash-nya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash.[4] Qiyas ini merupakan metode dalam pengambilan hukum yang didasarkan pada illat-illat hukum yang terkandung di dalamnya.

b)      Landasan Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia

Di Indonesia yang menjadi sumber hukum perlindungan konsumen adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disingkat UUPK. Undang-undang ini diundangkan pada tanggal 20 April 1999 dan dinyatakan berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000.[5] UUPK bukanlah satu-satunya UU yang mengatur tentang perlindungan konsumen, tetapi sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umumnya bahwa sebelum UUPK disahkan sebagai undang-undang perlindungan konsumen telah ada 20 UU yang materinya memuat perlindungan konsumen sehingga UUPK dijadikan sebagai payung hukum bagi peraturan perundang-undangan lain yang menyangkut konsumen, dan sekaligus mengintegrasikannya sehingga dapat memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. UUPK bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, tetapi terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen.[6]

B.    Hak dan Kewajiban Konsumen

a.       Hak-Hak Konsumen Dalam Hukum Islam Dan UUPK

Menurut hukum Islam ada enam hak konsumen yang membutuhkan perhatian serius dari pelaku usaha, yaitu:[7]

1.      Hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur, adil, dan terhindar dari pemalsuan.

2.      Hak untuk mendapatkan keamanan produk dan lingkungan sehat.

3.      Hak untuk mendapatkan advokasi dan penyelesaian sengketa.

4.      Hak untuk mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan keadaan. 

5.      Hak untuk mendapatkan ganti rugi akibat negatif dari suatu produk.

6.      Hak untuk memilih dan memperoleh nilai tukar yang wajar.

Dalam Islam, kerugian atau bahaya fisik yang diderita oleh konsumen karena cacat produk atau penipuan adalah perbuatan yang tidak dibenarkan, oleh karena itu pelaku usaha/produsen harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Tanggung jawab jika dihubungkan dengan penyebab adanya ganti rugi (dhaman) dapat dibedakan menjadi lima, yaitu:[8]

1.      Ganti Rugi Karena Perusakan (Dhaman Itlaf)

2.      Ganti Rugi Karena Transaksi (Dhaman ‘Aqdin) 

3.      Ganti Rugi Karena Perbuatan (Dhaman Wadh’u Yadin)

4.      Ganti Rugi Karena Penahanan (Dhaman al-Hailulah)

5.      Ganti Rugi Karena Tipu daya (Dhaman al-Maghrur)

Dhaman Itlaf adalah ganti rugi akibat dari perusakan barang. Ganti rugi itlaf tidak hanya berhubungan dengan kerusakan harta benda saja, tetapi juga menyangkut jiwa dan anggota tubuh manusia. Dhaman ‘aqdin adalah terjadinya suatu aqad atau transaksi sebagai penyebab adanya ganti rugi atau tanggung jawab. Ganti rugi wadh’u yadin adalah ganti rugi akibat dari kerusakan barang yang masih berada di tangan penjual apabila barang belum diserahkan dalam sebuah aqad yang sah dan ganti rugi karena perbuatan mengambil harta orang lain tanpa izin. Dhaman al-hailulah adalah ganti rugi pada jasa penitipan barang (al-wadi) jika terjadi kerusakan atau hilang, baik kerusakan atau hilangnya itu disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan orang yang dititipi. Dhaman al-maghrur adalah ganti rugi akibat tipu daya. Dhaman al-maghrur sangat efektif diterapkan dalam perlindungan konsumen, karena segala bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain pelakunya harus membayar ganti rugi sebagai akibat dari perbuatannya itu.

Di dalam UUPK Pasal 4 diatur secara eksplisit delapan hak konsumen, yaitu :

1.      Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3.      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5.      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6.      Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7.      Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9.      Hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan lainnya

Memperhatikan hak-hak konsumen dalam hukum Islam dan UUPK memiliki banyak kesamaan. Namun demikian ada juga perbedaannya, yaitu; hak untuk mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan keadaan. Hak ini tidak diatur dalam UUPK. Selain itu, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Hak-hak ini tidak diatur secara eksplisit dalam hukum Islam, tetapi jika dilihat dari maqashid al-syari’ah (tujuan disyariatkannya hukum), maka semua hak konsumen yang diatur di dalam UUPK sesuai dengan hukum Islam, karena semua hak-hak itu prinsipnya untuk kebaikan konsumen.

b.      Kewajiban Konsumen Dalam Hukum Islam Dan UUPK

Dalam hukum Islam kewajiban-kewajiban konsumen tidak dijelaskan secara spesifik, namun demikian sebagai bentuk keseimbangan dan keadilan penulis dapat menjelaskannya sebagai berikut;[9]

1.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/atau jasa;

2.      Mencari informasi dalam berbagai aspek dari suatu barang dan/atau jasa yang akan dibeli atau digunakan; 

3.      Membayar sesuai dengan harga atau nilai yang telah disepakati dan dilandasi rasa saling rela merelakan(taradhin), yang terealisasi dengan adanya ijab dan qabul (sighah) ;

4.      Mengikuti prosedur penyelesaian sengketa yang terkait dengan perlindungan konsumen.

UUPK selain memberikan hak kepada konsumen, konsumen juga dibebani dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana diatur pada Pasal 5, yaitu :

1.      Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan,

2.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa,

3.      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

4.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Kewajiban-kewajiban konsumen seperti yang diatur pada Pasal 5 tidak dijelaskan secara spesifik dalam hukum Islam, tetapi bila melihat tujuan pengaturan itu untuk kemaslahatan konsumen dan pelaku usaha, maka pengaturan itu sesuai dengan hukum Islam dan maqashid al-syari’ah, yaitu untuk mewujudkan mashlahah (kebaikan).

C.    Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Untuk melindungi kepentingan para pihak di dalam lalulintas perdagangan/ berbisnis, hukum Islam menetapkan beberapa asas yang dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan transaksi, yaitu at-tauhid, istiklaf, al-ihsan, al-amanah, ash-shiddiq, al-adl, al-khiyar, at-ta’wun, keamanan dan keselamatan, dan at-taradhin. Di dalam UUPK asas perlindungan konsumen diatur pada Pasal 2 yang menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum

Asas pokok atau pondasi dari seluruh kegiatan bisnis di dalam hukum Islam ditempatkan pada asas tertinggi, yaitu tauhid (mengesakan Allah SWT).[10] Dari asas ini kemudian lahir asas istikhlaf, yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki oleh manusia hakekatnya adalah titipan dari Allah SWT, manusia hanyalah sebagai pemegang amanah yang diberikan kepadanya.[11] Dari asas tauhid juga melahirkan asas al-ihsan (benevolence), artinya melaksanakan perbuatan baik yang dapat memberikan kemanfaatan kepada orang lain tanpa ada kewajiban tertentu yang mengharuskannya untuk melaksanakan perbuatan tersebut.[12]

Dari ketiga asas di atas melahirkan asas al-amanah, ash-shiddiq, al-adl, al-khiyar, at-ta’wun, keamanan dan keselamatan, dan at-taradhin. Menurut asas al-amanah setiap pelaku usaha adalah pengemban amanah untuk masa depan dunia dengan segala isinya (kholifah fi al-ardhi), oleh karena itu apapun yang dilakukannya akan dipertanggung jawabkan di hadapan manusia dan di hadapan sang pencipta (Allah SWT).[13] Ash-shiddiq adalah prilaku jujur, yang paling utama di dalam berbisnis adalah kejujuran.

Dari pembahasan di atas dapat diuraikan bahwa asas-asas perlindungan konsumen dalam hukum Islam lebih luas dan konprehensif dari pada asas-asas perlindungan konsumen di dalam UUPK, yang mana di dalam hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan horizontal yaitu hubungan pelaku usaha dengan konsumen atau pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya.

Tujuan perlindungan konsumen dalam hukum Islam adalah untuk mewujudkan mashlahah (kemaslahatan) bagi umat manusia. Sedangkan tujuan perlindungan konsumen di dalam UUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah :

1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif, pemakaian barang dan/atau jasa;

3.      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi, serta akses untuk mendapatkan informasi;

5.      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6.      Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produk barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Jika memperhatikan tujuan perlindungan konsumen yang terdapat pada Pasal 3 UUPK tersebut di atas sesuai dengan hukum Islam dan maqashid al-syari’ah (tujuan disyariatkannya hukum) yaitu untuk kemaslahatan bagi manusia.

D.    Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Dalam Hukum Islam dan UUPK

Untuk menjaga keseimbangan dan memberikan keadilan kepada para pelaku bisnis dalam melakukan transaksi Islam melarang beberapa bentuk transaksi dan sangat dibenci oleh Rasulullah SAW, yaitu :

1.      Talaqqi rukban Talaqqi rukban, adalah mencegat pedagang yang membawa barang dari tempat produksi sebelum sampai ke pasar.[14] Rasulullah SAW melarang praktik perdagangan seperti ini dengan tujuan untuk menghindari ketidak tahuan penjual dari daerah.

pedesaan mengenai harga barang yang berlaku di kota. Rasulullah SAW memerintahkan agar suplay barang dibawa langsung ke pasar, sehingga penjual dan pembeli dapat mengambil manfaat dari adanya harga yang alamiah. Mencegah masuknya pedagang ke pasar kota dapat menimbulkan pasar yang tidak kompotitif,[15] oleh sebab itu Rasulullah SAW melarangnya dengan sabdanya :

 “Jangan kamu mencegat para pedagang ditengah jalan. Pemilik barang berhak memilih setelah sampai pasar, apakah ia menjual kepada mereka yang mencegat atau kepada orang yang ada di pasar”.[16] (Muttafakun alaih)

 

Menurut Imam Ghazali, larangan ini menunjukkan bahwa para pembeli dan penjual tidak boleh menyembunyikan harga pasar. Selanjutnya beliau mengatakan, tidak boleh mengambil kesempatan di kala pemilik barang lengah dan tidak mengetahui harga yang sebenarnya. Kalau kita melakukan hal itu, niscaya kita tergolong orang-orang yang zhalim, tidak melaksanakan keadilan dan kejujuran kepada kaum muslimin.[17]

 

Larangan-larangan yang terdapat pada Pasal 9, 10, 11, 12, 13, 14, dan 16 UUPK substansinya masih sama dengan Pasal 8 UUPK termasuk dalam bai’al gharar. Sedangkan larangan yang terdapat pada Pasal 15 UUPK terkait dengan syarat sahnya aqad. Dalam hukum Islam salah satu syarat sahnya aqad adalah tidak ada paksaan (ikrah) dan keadaan suka sama suka atau saling rela (taradhin). Oleh karena itu, rusaknya kualifikasi ini akan menyebabkan batalnya suatu aqad,[18] Allah SWT secara tegas menjelaskannya di dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat : 29

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa : 29)

 

Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hiban Rasulullah SAW bersabda :

Jual beli hanya dapat dilakukan atas dasar suka sama suka. (HR. Ibnu Hiban)

Larangan yang terdapat pada Pasal 17 UUPK termasuk dalam bai’al najasy (persekongkolan), karena pelaku usaha yang memproduksi suatu barang bekerja sama dengan pelaku usaha periklanan untuk mempromosikan produknya supaya laris terjual dipasar dengan cara memuji dan mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, harga, dan jaminan terhadap barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Hukum Islam dan UUPK sama-sama mengatur masalah perlindungan konsumen untuk menciptakan kemaslahatan, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamtan serta menjamin kepastian hukum dalam lalu lintas perdagangan. Perbedaannya, hukum Islam lebih menampakkan nilai-nilai religiusitas dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan (hubungan vertikal dan horizontal/hablum minallah wa hablum minannas), sedangkan UUPK lebih menampakkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan (hubungan horizontal/hablum minannas).

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aedi, Hasan, Teori dan Aplikasi Etika Bisnis Islam, Bandung, Alfabeta, 2011

Ahmad, Mahdi Rizqullah, Biografi Rasulullah, Sebuah studi Analisis Berdasarkan Sumber-sumber Autentik, Jakarta, Qisthi Press, 2009

As-Sabatin, Yusuf, Bisnis Islam Dan Kritik Atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, Bogor, Al-Azhar Press, 2009

Badroen, Faisal, et all, Etika bisnis Dalam Islam, Jakarta, Kencana, 2007

Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 43/ DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh)

Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta, PT Raja Grafindo Persada

Jusmaliani, dkk, Bisnis berbasis syariah, Jakarta, Bumi Aksara, 2008

Kelibia, Muhammad Umar, Klausul Baku Di Perbankan Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Studi Klausul Baku Dalam UUPK Dari Tanjauan Hukum Islam, Tesis Tidak Diterbitkan, Program Pasca Sarjan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011

Muhammad & Alimin, Etika & Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta,BPFE, 2004

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, Citra Aditia Bakti, 2010

Qardhawi, Yusuf, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, Penerjemah Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Jakarta, Gema Insani Press, 1997

Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung, Alma’arif, 1986



[1] Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah, Sebuah studi Analisis Berdasarkan Sumber-sumber Autentik, Jakarta, Qisthi Press, 2009, Hlm. 152

[2] Jusmaliani, dkk, Bisnis berbasis syariah, Jakarta, Bumi Aksara, 2008, Hlm. 49

[3] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung, Alma’arif, 1986, Hlm. 58-59

[4] Ibid, Hlm. 66

[5] Janus Sidabalok, Op Cit, Hlm. 48

[6] Lihat penjelasan umum UUPK

[7] Muhammad & Alimin, Etika & Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta,BPFE, 2004, Hlm. 195-234.

[8] Ibid, Hlm. 235-239

[9] M. Yusri, Kajian Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam, Dikutip dari http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jphi/article/ view/1302/1395 Diakses Tanggal 14 Oktober 2014

[10] Yusuf Qardhawi, Op Cit, Hlm. 31

[11] Ibid, Hlm. 40-41

[12] Faisal Badroen et all, Etika bisnis Dalam Islam, Jakarta, Kencana, 2007, Hlm. 102-103

[13] Hasan Aedi, Teori dan Aplikasi Etika Bisnis Islam, Bandung, Alfabeta, 2011, Hlm. 59

[14] Yusuf Qardhawi, Op Cit, Hlm. 180

[15] Jusmaliani, Op Cit, Hlm. 58-59

[16] Darai Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dan Anas

[17] Yusuf Qardhawi, Op Cit, Hlm. 180-181

[18] Muhammad & Alimin, Op Cit, Hlm. 172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih banyak komentar anda merupakan sebuah langkah perbaikan untuk saya