By: Zhifanious
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil ’alamin. Tiada
kata-kata yang dapat saya ucapkan selain rasa syukur yang tak terkira atas
nikmat serta karunia yang telah Allah SWT limpahkan kepada saya ,beserta shalawat
serta salam kepada Nabi kita Muhammad SAW, yang telah membimbing kita hingga
akhir zaman kelak. Sehingga saya dapat diberi kemudahan dalam menyelesaikan
makalah dengan judul “Perlindungan Konsumen Dalam Prespektif Islam” dengan
baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan tidak lupa saya ucapkan
terimakasih kepada Al-Ustadzah Rakhma Dewi Jamilatul K., SE, selaku dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Mikro Islam.
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa
yang diinginkan yaitu: Wanita-wanita, anak-anak harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi allah SWT tempat Kembali yang
baik (surga). (Q.S An-nissa: 14). Dalam konteks
bisnis, antara pelaku usaha dan konsumen dilarang untuk saling menzalimi atau
merugikan satu dengan yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan hak-hak konsumen
dan juga hak-hak pelaku usaha (produsen). Konsep bisnis dalam Islam harus
dilandasi oleh nilai-nilai dan etika yang menjunjung tinggi kejujuran dan
keadilan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan
nilai guna dan dapat menjadi bahan diskusi dalam pengembangan hukum islam.
sebelumnya saya ucapkan mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan, saya mohon kritik dan saran pembaca demi perbaikan makalah
ini.
Wassalamu’alaikum Wr.
Wb.
Mantingan, 14 juli 2022
Penulis
DAFTAR
ISI
A. Landasan Hukum Perlindungan Konsumen
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
D. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Dalam Hukum
Islam dan UUPK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara historis, sejarah perlindungan konsumen dalam Islam sudah
dimulai sejak Nabi Muhammad SAW belum diangkat menjadi Rasul, beliau membawa
barang dagangan Khadijah binti Khuwailid dengan mendapatkan imbalan atau upah.[1] Sekalipun tidak banyak literatur yang berbicara tentang aspek
perlindungan konsumen ketika itu, namun prinsip-prinsip perlindungan konsumen
dapat ditemukan dari praktik-praktek bisnis yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Kejujuran, keadilan dan integritas Rasulullah tidak diragukan lagi oleh penduduk
Mekkah, sehingga potensi tersebut meningkatkan reputasi dan kemampuannya dalam
berbisnis.[2]
Dalam konteks bisnis, potongan pada akhir
ayat tersebut mengandung perintah perlindungan konsumen, bahwa antara pelaku usaha dan konsumen dilarang untuk saling
menzalimi atau merugikan satu dengan yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan
hak-hak konsumen dan juga hak-hak pelaku usaha (produsen). Konsep bisnis dalam
Islam harus dilandasi oleh nilai-nilai dan etika yang menjunjung tinggi
kejujuran dan keadilan.
Dari praktik-praktik bisnis yang dilarang
tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa prinsip bisnis yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW mengandung nilai-nilai perlindungan terhadap hak-hak konsumen,
sekalipun pada saat itu belum mengenal terminologi konsumen. Karena itu,
kejujuran, keadilan dan transparansi merupakan pondasi ajaran Islam dalam
berbisnis. Uraian di atas juga membuktikan, bahwa sebelum bangsa Barat dan
dunia modern mengenal perlindungan konsumen, Islam telah mengimplementasikan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip perlindungan konsumen tersebut dalam tataran
praktis.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini yang menjadi pokok masalah adalah bagaimana proses
perlindungan konsumen dalam prespektif islam. Dan ternyata masalah yang ada
begitu banyak dan luas. Akan tetapi agar tidak terlalu menyebar dan dapat
terarah serta tetap tersusun secara sistematis maka akan dibatasi sebagai
berikut:
1.
Bagaimana landasan hukum perlindungan konsumen?
2.
Apa saja hak dan kewajiban konsumen?
3.
Bagaimana asas serta tujuan konsumen?
4.
Apa saja perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
dlam hukum islam?
C.
Tujuan Masalah
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, tujuannya adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui landasan hukum perlindungan konsumen?
2.
Menetahui hak dan kewajiban konsumen?
3.
Mengetahui asas serta tujuan konsumen?
4.
Mengetahui perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
dlam hukum islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Hukum Perlindungan Konsumen
a) Landasan Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Islam
Sumber hukum dalam Islam
yang telah disepakati oleh para fuqaha ada 4, yaitu berdasarkan Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sumber-sumber hukum ini dijadikan sebagai acuan dalam
pengambilan hukum perlindungan konsumen dalam Islam. Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama
(sumber primer) dalam ajaran Islam. Sunnah adalah sumber hukum kedua (sumber
sekunder) setelah Al-quran, dan dapat dijadikan sumber hukum pertama (sumber
primer) apabila tidak ditemukan penjelasan atas suatu masalah di dalam
Al-Qur’an.
Adapun ijma’ adalah
kesepakatan semua mujtahid dari kalangan umat Islam pada suatu masa, setelah
wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kejadian maupun
kasus. Ijma’ hanya ditetapkan setelah wafatnya Rasulullah SAW dan hanya dapat
dijadikan sebagai sumber hukum apabila tidak ditemukan penjelasan atau
norma-norma hukum di dalam Al-Qur’an maupun sunnah mengenai suatu masalah atau
kasus.[3] Sedangkan qiyas adalah
menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nash-nya kepada kejadian yang ada nash-nya,
dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash.[4] Qiyas ini merupakan metode
dalam pengambilan hukum yang didasarkan pada illat-illat hukum yang terkandung
di dalamnya.
b) Landasan Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia
Di Indonesia yang menjadi sumber hukum perlindungan konsumen
adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
selanjutnya disingkat UUPK. Undang-undang ini diundangkan pada tanggal 20 April
1999 dan dinyatakan berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000.[5] UUPK bukanlah satu-satunya
UU yang mengatur tentang perlindungan konsumen, tetapi sebagaimana disebutkan
dalam penjelasan umumnya bahwa sebelum UUPK disahkan sebagai undang-undang
perlindungan konsumen telah ada 20 UU yang materinya memuat perlindungan konsumen
sehingga UUPK dijadikan sebagai payung hukum bagi peraturan perundang-undangan
lain yang menyangkut konsumen, dan sekaligus mengintegrasikannya sehingga dapat
memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. UUPK bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan
konsumen, tetapi terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada
dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen.[6]
B. Hak dan Kewajiban Konsumen
a. Hak-Hak Konsumen Dalam Hukum Islam Dan UUPK
Menurut
hukum Islam ada enam hak konsumen yang membutuhkan perhatian serius dari pelaku
usaha, yaitu:[7]
1. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur, adil, dan
terhindar dari pemalsuan.
2. Hak untuk mendapatkan keamanan produk dan lingkungan sehat.
3. Hak untuk mendapatkan advokasi dan penyelesaian sengketa.
4. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan keadaan.
5. Hak untuk mendapatkan ganti rugi akibat negatif dari suatu
produk.
6. Hak untuk memilih dan memperoleh nilai tukar yang wajar.
Dalam Islam, kerugian atau
bahaya fisik yang diderita oleh konsumen karena cacat produk atau penipuan
adalah perbuatan yang tidak dibenarkan, oleh karena itu pelaku usaha/produsen
harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Tanggung jawab jika dihubungkan
dengan penyebab adanya ganti rugi (dhaman) dapat dibedakan menjadi lima, yaitu:[8]
1. Ganti Rugi Karena Perusakan (Dhaman Itlaf)
2. Ganti Rugi Karena Transaksi (Dhaman ‘Aqdin)
3. Ganti Rugi Karena Perbuatan (Dhaman Wadh’u Yadin)
4. Ganti Rugi Karena Penahanan (Dhaman al-Hailulah)
5. Ganti Rugi Karena Tipu daya (Dhaman al-Maghrur)
Dhaman Itlaf adalah ganti
rugi akibat dari perusakan barang. Ganti rugi itlaf tidak hanya berhubungan
dengan kerusakan harta benda saja, tetapi juga menyangkut jiwa dan anggota
tubuh manusia. Dhaman ‘aqdin adalah terjadinya suatu aqad atau transaksi
sebagai penyebab adanya ganti rugi atau tanggung jawab. Ganti rugi wadh’u yadin
adalah ganti rugi akibat dari kerusakan barang yang masih berada di tangan
penjual apabila barang belum diserahkan dalam sebuah aqad yang sah dan ganti
rugi karena perbuatan mengambil harta orang lain tanpa izin. Dhaman al-hailulah
adalah ganti rugi pada jasa penitipan barang (al-wadi) jika terjadi kerusakan
atau hilang, baik kerusakan atau hilangnya itu disebabkan karena kelalaian atau
kesengajaan orang yang dititipi. Dhaman al-maghrur adalah ganti rugi akibat
tipu daya. Dhaman al-maghrur sangat efektif diterapkan dalam perlindungan
konsumen, karena segala bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain pelakunya
harus membayar ganti rugi sebagai akibat dari perbuatannya itu.
Di dalam UUPK Pasal 4 diatur secara eksplisit delapan hak
konsumen, yaitu :
1.
Hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.
Hak untuk memilih barang
dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.
Hak atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.
Hak untuk didengar pendapat
dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.
Hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut;
6.
Hak untuk mendapat
pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.
Hak unduk diperlakukan atau
dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.
Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.
Hak hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang undangan lainnya
Memperhatikan hak-hak konsumen dalam hukum
Islam dan UUPK memiliki banyak kesamaan. Namun demikian ada juga perbedaannya,
yaitu; hak untuk mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan keadaan. Hak ini
tidak diatur dalam UUPK. Selain itu, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan, hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif. Hak-hak ini tidak diatur secara eksplisit dalam
hukum Islam, tetapi jika dilihat dari maqashid al-syari’ah (tujuan
disyariatkannya hukum), maka semua hak konsumen yang diatur di dalam UUPK
sesuai dengan hukum Islam, karena semua hak-hak itu prinsipnya untuk kebaikan
konsumen.
b. Kewajiban Konsumen Dalam Hukum Islam Dan UUPK
Dalam hukum Islam kewajiban-kewajiban konsumen tidak
dijelaskan secara spesifik, namun demikian sebagai bentuk keseimbangan dan
keadilan penulis dapat menjelaskannya sebagai berikut;[9]
1. Beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/atau jasa;
2. Mencari informasi dalam berbagai aspek dari suatu barang
dan/atau jasa yang akan dibeli atau digunakan;
3. Membayar sesuai dengan harga atau nilai yang telah disepakati
dan dilandasi rasa saling rela merelakan(taradhin), yang terealisasi dengan adanya
ijab dan qabul (sighah) ;
4. Mengikuti prosedur penyelesaian sengketa yang terkait dengan
perlindungan konsumen.
UUPK selain memberikan hak
kepada konsumen, konsumen juga dibebani dengan kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi sebagaimana diatur pada Pasal 5, yaitu :
1. Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau
pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan,
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa,
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Kewajiban-kewajiban konsumen
seperti yang diatur pada Pasal 5 tidak dijelaskan secara spesifik dalam hukum
Islam, tetapi bila melihat tujuan pengaturan itu untuk kemaslahatan konsumen
dan pelaku usaha, maka pengaturan itu sesuai dengan hukum Islam dan maqashid
al-syari’ah, yaitu untuk mewujudkan mashlahah (kebaikan).
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Untuk melindungi kepentingan para pihak di dalam lalulintas
perdagangan/ berbisnis, hukum Islam menetapkan beberapa asas yang dijadikan
sebagai pedoman dalam melakukan transaksi, yaitu at-tauhid, istiklaf, al-ihsan,
al-amanah, ash-shiddiq, al-adl, al-khiyar, at-ta’wun, keamanan dan keselamatan,
dan at-taradhin. Di dalam UUPK asas perlindungan konsumen diatur pada Pasal 2
yang menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum
Asas pokok atau pondasi dari seluruh
kegiatan bisnis di dalam hukum Islam ditempatkan pada asas tertinggi, yaitu
tauhid (mengesakan Allah SWT).[10] Dari asas ini kemudian lahir asas istikhlaf, yang menyatakan
bahwa apa yang dimiliki oleh manusia hakekatnya adalah titipan dari Allah SWT,
manusia hanyalah sebagai pemegang amanah yang diberikan kepadanya.[11] Dari asas tauhid juga
melahirkan asas al-ihsan (benevolence), artinya melaksanakan perbuatan baik
yang dapat memberikan kemanfaatan kepada orang lain tanpa ada kewajiban
tertentu yang mengharuskannya untuk melaksanakan perbuatan tersebut.[12]
Dari ketiga asas di atas melahirkan asas
al-amanah, ash-shiddiq, al-adl, al-khiyar, at-ta’wun, keamanan dan keselamatan,
dan at-taradhin. Menurut asas al-amanah setiap pelaku usaha adalah pengemban
amanah untuk masa depan dunia dengan segala isinya (kholifah fi al-ardhi), oleh
karena itu apapun yang dilakukannya akan dipertanggung jawabkan di hadapan
manusia dan di hadapan sang pencipta (Allah SWT).[13] Ash-shiddiq adalah
prilaku jujur, yang paling utama di dalam berbisnis adalah kejujuran.
Dari pembahasan di atas dapat diuraikan
bahwa asas-asas perlindungan konsumen dalam hukum Islam lebih luas dan
konprehensif dari pada asas-asas perlindungan konsumen di dalam UUPK, yang mana
di dalam hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan horizontal yaitu hubungan
pelaku usaha dengan konsumen atau pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya.
Tujuan perlindungan konsumen dalam hukum
Islam adalah untuk mewujudkan mashlahah (kemaslahatan) bagi umat manusia.
Sedangkan tujuan perlindungan konsumen di dalam UUPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 adalah :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif, pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi, serta akses untuk mendapatkan
informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produk barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.
Jika memperhatikan tujuan perlindungan konsumen yang terdapat
pada Pasal 3 UUPK tersebut di atas sesuai dengan hukum Islam dan maqashid
al-syari’ah (tujuan disyariatkannya hukum) yaitu untuk kemaslahatan bagi
manusia.
D. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Dalam Hukum Islam dan
UUPK
Untuk menjaga keseimbangan dan memberikan keadilan kepada
para pelaku bisnis dalam melakukan transaksi Islam melarang beberapa bentuk
transaksi dan sangat dibenci oleh Rasulullah SAW, yaitu :
1.
Talaqqi rukban Talaqqi
rukban, adalah mencegat pedagang yang membawa barang dari tempat produksi
sebelum sampai ke pasar.[14] Rasulullah SAW melarang praktik perdagangan seperti ini dengan
tujuan untuk menghindari ketidak tahuan penjual dari daerah.
pedesaan mengenai harga barang yang berlaku
di kota. Rasulullah SAW memerintahkan agar suplay barang dibawa langsung ke
pasar, sehingga penjual dan pembeli dapat mengambil manfaat dari adanya harga
yang alamiah. Mencegah masuknya pedagang ke pasar kota dapat menimbulkan pasar
yang tidak kompotitif,[15] oleh sebab itu Rasulullah
SAW melarangnya dengan sabdanya :
“Jangan kamu mencegat para pedagang ditengah
jalan. Pemilik barang berhak memilih setelah sampai pasar, apakah ia menjual kepada
mereka yang mencegat atau kepada orang yang ada di pasar”.[16] (Muttafakun alaih)
Menurut Imam Ghazali, larangan ini
menunjukkan bahwa para pembeli dan penjual tidak boleh menyembunyikan harga
pasar. Selanjutnya beliau mengatakan, tidak boleh mengambil kesempatan di kala
pemilik barang lengah dan tidak mengetahui harga yang sebenarnya. Kalau kita
melakukan hal itu, niscaya kita tergolong orang-orang yang zhalim, tidak
melaksanakan keadilan dan kejujuran kepada kaum muslimin.[17]
Larangan-larangan yang terdapat pada Pasal 9,
10, 11, 12, 13, 14, dan 16 UUPK substansinya masih sama dengan Pasal 8 UUPK
termasuk dalam bai’al gharar. Sedangkan larangan yang terdapat pada Pasal 15 UUPK terkait dengan
syarat sahnya aqad. Dalam hukum Islam salah satu syarat sahnya aqad adalah
tidak ada paksaan (ikrah) dan keadaan suka sama suka atau saling rela
(taradhin). Oleh karena itu, rusaknya kualifikasi ini akan menyebabkan batalnya
suatu aqad,[18]
Allah SWT secara tegas menjelaskannya di dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat : 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.
An-Nisa : 29)
Dan di dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Hiban Rasulullah SAW bersabda :
Jual beli hanya dapat dilakukan atas dasar
suka sama suka. (HR. Ibnu Hiban)
Larangan yang terdapat pada Pasal 17 UUPK termasuk dalam
bai’al najasy (persekongkolan), karena pelaku usaha yang memproduksi suatu
barang bekerja sama dengan pelaku usaha periklanan untuk mempromosikan
produknya supaya laris terjual dipasar dengan cara memuji dan mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, harga, dan jaminan
terhadap barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum Islam dan UUPK sama-sama mengatur
masalah perlindungan konsumen untuk menciptakan kemaslahatan, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamtan serta menjamin kepastian hukum dalam lalu
lintas perdagangan. Perbedaannya, hukum Islam lebih menampakkan nilai-nilai
religiusitas dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
(hubungan vertikal dan horizontal/hablum minallah wa hablum minannas),
sedangkan UUPK lebih menampakkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan (hubungan
horizontal/hablum minannas).
DAFTAR PUSTAKA
Aedi, Hasan, Teori dan Aplikasi Etika Bisnis Islam, Bandung,
Alfabeta, 2011
Ahmad, Mahdi Rizqullah, Biografi Rasulullah, Sebuah studi
Analisis Berdasarkan Sumber-sumber Autentik, Jakarta, Qisthi Press, 2009
As-Sabatin, Yusuf, Bisnis Islam Dan Kritik Atas Praktik
Bisnis Ala Kapitalis, Bogor, Al-Azhar Press, 2009
Badroen, Faisal, et all, Etika bisnis Dalam Islam, Jakarta,
Kencana, 2007
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 43/ DSN-MUI/VIII/2004
tentang Ganti Rugi (Ta’widh)
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh
Muamalat), Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Jusmaliani, dkk, Bisnis berbasis syariah, Jakarta, Bumi
Aksara, 2008
Kelibia, Muhammad Umar, Klausul Baku Di Perbankan Dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Studi Klausul Baku Dalam UUPK
Dari Tanjauan Hukum Islam, Tesis Tidak Diterbitkan, Program Pasca Sarjan UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011
Muhammad & Alimin, Etika & Perlindungan Konsumen
Dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta,BPFE, 2004
Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,
Bandung, Citra Aditia Bakti, 2010
Qardhawi, Yusuf, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, Penerjemah
Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Jakarta, Gema Insani Press, 1997
Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islam, Bandung,
Alma’arif, 1986
[1] Mahdi
Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah, Sebuah studi Analisis Berdasarkan
Sumber-sumber Autentik, Jakarta, Qisthi Press, 2009, Hlm. 152
[2]
Jusmaliani, dkk, Bisnis berbasis syariah, Jakarta, Bumi Aksara, 2008, Hlm. 49
[3] Mukhtar
Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung,
Alma’arif, 1986, Hlm. 58-59
[4] Ibid,
Hlm. 66
[5] Janus
Sidabalok, Op Cit, Hlm. 48
[6] Lihat
penjelasan umum UUPK
[7] Muhammad
& Alimin, Etika & Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam,
Yogyakarta,BPFE, 2004, Hlm. 195-234.
[8] Ibid,
Hlm. 235-239
[9] M.
Yusri, Kajian Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam,
Dikutip dari http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jphi/article/ view/1302/1395
Diakses Tanggal 14 Oktober 2014
[10] Yusuf
Qardhawi, Op Cit, Hlm. 31
[11] Ibid,
Hlm. 40-41
[12] Faisal
Badroen et all, Etika bisnis Dalam Islam, Jakarta, Kencana, 2007, Hlm. 102-103
[13] Hasan
Aedi, Teori dan Aplikasi Etika Bisnis Islam, Bandung, Alfabeta, 2011, Hlm. 59
[14] Yusuf
Qardhawi, Op Cit, Hlm. 180
[15]
Jusmaliani, Op Cit, Hlm. 58-59
[16] Darai
Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dan Anas
[17] Yusuf Qardhawi,
Op Cit, Hlm. 180-181
[18]
Muhammad & Alimin, Op Cit, Hlm. 172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih banyak komentar anda merupakan sebuah langkah perbaikan untuk saya